Sabang

Aku punya pekerjaan rumah untuk membaca “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono, “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah, “Panglima, Cuak, dan RBT” dan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, dan “Orang-orang Di Tiro” karya Linda Christanty.

Semua berbicara tentang Aceh dari berbagai sudut dan cara bercerita. Karya Chik Rini “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” sudah kubaca jauh-jauh hari, sewaktu aku membaca buku Jurnalisme Sastrawi, berbarengan dengan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah. Keduanya, bercerita banyak tentang Aceh sewaktu menjadi daerah operasi militer. Banyak bercerita tentang bentrokan GAM dan TNI. Peristiwa yang diceritakan Chik Rini diketahui secara umum, karena menyangkut wartawan media televisi, sedangkan Alfian Hamzah lebih banyak bercerita tentang suka duka tentara Indonesia di Aceh.

Tiga cerita lain aku baca selama seminggu ini. Masih tentang Aceh. Terkait dengan konflik yang terjadi selama tahunan di Serambi Mekah tersebut. Hanya ketika membaca “Republik Indonesia Kilometer Nol” aku teringat dengan Banda Aceh sebagai tempat tinggal selama sementara waktu, sekitar satu tahun yang lalu.

Beberapa tahun lalu, aku sempat tinggal di Banda Aceh untuk waktu yang singkat. Apa yang aku alami disana, berbeda dengan Alfian. Juga berbeda dengan Chik Rini, Linda dan Andreas, walaupun sebetulnya kondisi yang mereka tulis sangat berpengaruh dengan situasi di pertengahan 2006 itu. Ceritaku saat itu malah lebih banyak mengenai berbagai tempat makan di Banda Aceh. Tsunami, telah membuat beberapa hal berbeda, walaupun tidak berarti masalah selesai. Justru, ada beragam masalah baru yang muncul.

Tapi aku ingin sekali bercerita tentang sesuatu yang berbeda. Tentang Sabang, yang memukau hati aku. Ya, tulisan Andreas membuat aku mengenang kunjungan singkatku ke Sabang.

Setelah tsunami, di saat ada begitu banyak orang dari berbagai tempat di pelosok bumi berkumpul di Banda Aceh, maka Sabang bagi mereka yang ada di Banda Aceh adalah seperti Bandung bagi orang Jakarta.

Setidaknya, itu yang aku rasakan

Begitu datang di Banda Aceh, banyak orang yang aku temui mendorong aku ke Sabang. Karena ” tanggung, Mel, sudah sampe sini kok gak ke Sabang, disana menyenangkan dan beda suasana dengan disini,” dan tentu saja dorongan untuk mengunjungi Kilometer Nol.

Semuanya sebetulnya tidak membuat aku ngotot ke Sabang. Entah kenapa, tidak ada keinginan menggebu untuk melihat kilometer nol.

Itu pikirku.

Diam-diam ke Sabang

Tapi aku tetap berangkat. Dengan rencana agak mendadak. Dengan agak sembunyi-sembunyi. Saat itu, aku butuh beristirahat. Aku sakit, diduga tipes karena hari-hari disana dihabiskan dengan begadang dan makan tidak teratur serta beban kerja yang tinggi.

Akhirnya aku berargumentasi bahwa aku butuh kegiatan rekresasi untuk  menyegarkan jiwa raga walaupun saat itu tuntutan laporan sedang tinggi.

Sehari sebelum rencana keberangkatan, yaitu hari Jumat, aku meminta supir dan kendaraan untuk berangkat duluan ke Sabang. Ini tips dari teman-teman yang sudah lebih lama tinggal disana. Maklum, perjalanan Banda Aceh – Sabang bisa ditempuh dengan dua kapal. Kapal pertama adalah kapal cepat yang berangkat beberapa kali dalam sehari, tapi tanpa kendaraan. Kapal kedua, hanya berangkat satu kali sehari, kapal lambat yang membawa kendaraan.

Sejak ke Sabang menjadi salah satu kegiatan akhir pekan favorit para pekerja tsunami di Banda Aceh, sering sekali banyak mobil yang tidak bisa diangkut. Permintaan lebih besar daripada kemampuan membawa mobil. Bisa dibayangkan, kan! Belum lagi kalau ambil contoh mobil yang umum dipakai saat itu adalah mobil 4wheel, begitu istilahnya, untuk menggambarkan mobil-mobil besar, dengan roda besar yang tahan dengan banyak kondisi topografi dan jalanan hancur.

Alasan kedua kenapa aku tetap pergi kesana adalah iming-iming snorkelling dari beberapa teman. Membayangkanya membuat aku cukup nekad meninggalkan Banda Aceh dengan tumpukan pekerjaan untuk sejenak menghirup udara Sabang.

Hampir saja tidak jadi, waktu Bang Ramadan, supir kami, melapor kalau antrian sudah super panjang dan dia tidak dapat tempat di kapal laut Jumat sore ini. Sedih sekali. Tapi malam hari kami putuskan, tidak apa-apa. Bang Ramadan akan menyusul di Sabtu siang, dan kita bisa bertemu Bang Ramdan sore-sore Sabtu di kota.

Kami memutuskan itu, aku dan boss aku, Pak Ramli, Mba Okol, Mba Uli, Mas Aji, dan Teddy.

Sabtu pagi itu, kami harus bergegas ke pelabuhan karena Bang Ramadan harus mengantri sepagi mungkin. Bayangkan jam 8.30 kami sudah di pelabuhan, padahal Iwing, temanku yang lain, sudah bilang jadwal kapal jam 9.30 bukan jam 8.30. Iwing benar. Kami menghabiskan waktu di pelabuhan, melihat berbagai orang yang datang mengantri tiket ke Sabang.

Aku mencoba mengidentifikasi, mana pegawai BRR, mana pegawai organisasi non permerintah dari luar Aceh, mana orang yang pertama ke Sabang, mana yang memang orang Sabang yang pulang ke rumah setelah seminggu bekerja di Banda Aceh.

Kelompok BRR umumnya datang dalam jumlah besar, sebagian besar rombongan adalah orang dari Jakarta. Rambut mereka berwarna-warni, coklat terang dan burgundy adalah warna  yang paling menonjol. Jangan heran, kalau aku bisa melihat warna rambut mereka. Di Banda Aceh, perempuan wajib memakai jilbab tetapi di perjalanan ini jilbab berupa selendang itu hanya diselempangkan. Jaga-jaga kalau ada polisi syariah barangkali. Ini masih ditambah dengan penampilan kacamata  besar “segede bagong” serta sendal pantai yang cantik. Betul-betul pemandangan turis pantai.

Kelompok bule-bule organisasi non-pemerintah sudah kelihatan dari warna kulit mereka. Palingan bisa dibedakan yang sudah biasa ke Sabang dan yang baru pertama kali. Bule ini diantar supir dan tentu saja sudah ditunggu supir lain di seberang sana. Seragamnya juga mirip, celana selutut dengan baju kaos berlengan pendek. Ya, mereka punya sedikit kemewahan berpakaian, karena bisa berpakaian sedikit lebih terbuka dibandingkan orang-orang lokal.

Kelompok selanjutnya pekerja-pekerja seperti aku, datang dari berbagai lembaga yang begitu banyak jumlahnya di Banda Aceh. Ada yang datang dengan kendaraan roda empat berstiker nama lembaga, dan sedikit yang datang dengan angkutan umum atau kendaraan tanpa stiker. Aksen bicara dan pakaian tetap menjadi penanda bahwa aku bukan penduduk tetap Banda Aceh.

Kelompok terakhir adalah penduduk. Penampilannya berbeda. Datang bisa dengan motor becak, tapi juga ada juga yang datang dengan mobil berstriker. Stiker nama kantor mereka. Berarti mereka kerja di organisasi non-pemerintah.

Sabang, aku datang!
Kesan pertamaku, Sabang daerah perbukitan yang tenang.

Kesan kemudian setelah aku tiba di kota, Sabang menyenangkan. Sangat menyenangkan

Aku memulai perjalanan di kota, dan bukan ke Gapang, tempat favorit kunjungan para pekerja tsunami. Dan, kota Sabang mencuri hatiku.

Bayangkan gunung, bukit yang tinggi. Jalan kota yang naik turun karena topografinya. Jalan aspal yang mulus. Dengan pepohonan di kiri kanan, dan pemandangan teluk Sabang menyempil di sela-sela dedaunan. Pemandangan yang sudah dimulai setelah melewati pelabuhan. Air laut kebiruan mengintip dari sela-sela bukit-bukit. Angin semilir berhembus, agak hangat memang.

Begitu tiba di kota, rasanya begitu adem. Sungguh, tidak kalah dengan kota-kota kecil Eropa. Begitu tenang. Begitu damai. Berjalan kaki di pedestrian yang terawat, di kiri kanan jalan. Dari sebuah losmen kecil menuju ke pusat kota yang terletak lebih ke bawah. Losmen itu terletak di daerah cukup tinggi, perjalanan ke pusat kota terus menurun. Karena itu, aku dan teman-teman memutuskan untuk berjalan kaki saja. Menyenangkan sekali. Di satu titik, aku hanya ingin membaringkan tubuhku di rumput hijau yang segar itu, dengan langit dan dedaunan jauh di atas kepalaku, menjadi atapku.

Dan, pusat kota Sabang jauh lebih memukau. Ada satu ruas jalan dengan jajaran toko berderet rapi. Lantai trotoar dibuat dari ubin jaman dulu, yang berbentuk segi 5 berwarna abu-abu, atau terkadang hanya sekedar tegel abu-abu yang usianya lebih tua dari aku. Di beberapa lokasi, terdapat pohon yang membuat suasana teduh. Tidak terlalu bising karena tidak banyak kendaraan lalu lalang. Kemudian kami tahu, disini masih menganut istilah jam tidur siang. Tidak heran suasana siang itu relatif sepi.

Aku yang lapar memutuskan untuk makan disitu. Duduk di trotoar yang luas, di meja yang mampu menampung 8 orang yang lapar. Duduk sambil berfoto-foto. Turis banget.

Tidak terasa lebih dari satu jam kami habiskan disitu, tak lama ada kendaraan seorang teman datang menjemput. Kami bergegas. Gapang, menjadi tujuan selanjutnya.

Mengintip dunia bawah laut Gapang
Perjalanan kota ke Gapang memakan waktu lebih dari 1 jam. Kami melewati gunung, jalan berliku dengan bukan hanya pohon yang kami lihat tetapi juga monyet. Itu daerah yang banyak ditinggali monyet. Sudah tahu turis rupanya. Monyet-monyet ini berharap mendapatkan kacang atau pisang yang memang dijual di pinggir jalan. Ada trik khusus yang harus diketahui, untuk menghindari monyet tersebut terus menerus mengikuti mobil.

Untunglah mereka tidak terus menerus mengikuti kendaraan yang kami tumpangi. Setidaknya kami sempat berhenti dan mengambil foto di satu tanjakan. Foto aku dan teman-teman dengan latar belakang Teluk Sabang. Sedikit mengingatkanku dengan Danau Toba, bedanya ini bukan danau tapi laut. Hijau, putih dan biru.

Kami juga sempat berhenti di satu warung. Membeli rujak dan minum. Enak! Lagi-lagi sambil disuguhi pemandangan laut. Warungnya sendiri sangat sederhana. Terletak di sebuah pengkolan, agak tinggi, dengan kayu sederhana. Cukuplah untuk menahan hujan. Kursi sedikit miring, meja sedikit miring. Konstruksi memang dibuat secara sederhana. Di sebuah sudut, ada sebuah foto Sabang di masa jaya. Saat itu banyak kapal dari luar Indonesia berlabuh disana. Foto itu hitam putih, diambil dari sudut yang hampir sama dengan lokasi aku duduk saat itu. Kalau tidak salah, ada angka 1926 di atas foto tersebut. Sayang, itu hanya satu-satunya foto dan kami tidak bisa membelinya.

Foto itu, seperti foto pelabuhan yang ramai yang sering diperlihatkan film-film Holywood. Rasanya sulit membayangkan bahwa Sabang pernah begitu ramai sekian puluh tahun yang lalu. Kapal besar itu tidak hanya ada satu atau dua, tapi banyak sekali. Pemuda berusia di akhir 20-an itu tidak bisa bercerita banyak tentang foto itu, ia hanya banyak tersenyum.

Tidak jauh dari situ, kami mampir ke sebuah danau air tawar yang sedikit tersembunyi. Tantangan untuk berenang menyeberang tidak ditanggapi. Aku hanya terdiam menikmati keheningan yang begitu syahdu. Matahari terik sekali, tapi angin sejuk bertiup di tempat itu. Mengajak aku untuk menari bersama angin.

Gapang
Masuk ke wilayah Gapang, ada dua daerah yang agak terpisah. Daerah yang lebih menjorok ke dalam diperuntukan untuk para bule. Khusus untuk snorkelling. Untuk pertama kali, di Aceh, aku bisa mempergunakan celana pendek dan kaos tank top. Dengan modal masker, aku mulai mengintip ke bawah air. Hanya seputaran Gapang. Dan, oh, indah sekali. Ikan berwarna-warni, dan berbagai mahluk air begitu banyak. Airnya jernih sehingga aku bisa dengan mudah melihat mahluk karya Tuhan di dalam air tersebut. Sayang, aku tidak bisa mengingat nama-namanya. Satu yang aku ingat, bulu babi, aku harus hindari yang satu itu.

Selama aku bermain disana, ada seorang perempuan yang begitu aktif dan ceria. Ia bersama anjing-anjingnya, menghampiri orang-orang yang duduk-duduk di pantai. Umurnya barangkali sudah lebih dari 60 tahun. Badannya kurus. Tapi senyumnya lebar dan menawan. Dia lebih banyak mengajak bicara para bule yang ada disana.

Waktu terlalu cepat berlalu. Magrib segera datang, dan kami memutuskan untuk segera ke kota. Aku melihat sebagian besar pengujung pantai menginap di bungalow di seputaran pantai. Memang, pilihan itu adalah pilihan umum. Terutama bagi mereka yang memang mengejar kegiatan diving dan snorkeling di Gapang.

Mie Pangsit
Di kota, kami memutuskan untuk makan mie pangsit yang sudah direkomendasikan oleh seorang kawan. Rasanya? Enaksekali. Mie kuning dengan sedikit kuah yang gurih, ditemani pangsit. Tidak ada baso. Tidak ada seledri atau bawang. Ringan. Membuat aku ingin tambah satu piring lagi. Dan, memang aku tambah satu piring lagi. Bukan itu saja, tawaran makan seafood dibatalkan karena perut kenyang, dan aku memutuskan untuk beristirahat. Teman-teman yang masih bersemangat, memilih ikut nonton bersama. Ada acara Piala Dunia yang disiarkan langsung di sebuah televisi lokal. Mereka, berkumpul semua disitu.

Sabang membuat aku bukan hanya kenyang karena mie pangsit, tapi juga segar kembali. Beneran, deh.

Ini yang aku tulis sewaktu aku di Gapang:

Gapang, Sabang, 11 Juni 2006
Jam 11.15 siang

Siang ini, aku di pantai di Gapang, Sabang, Pulau lokasi nol kilometer Republik Indonesia.

Lautnya hijau kebiruan. Ada berbagai warna menghiasi laut di depan mataku. Warna hijau bening, terus menjadi biru, Satu dua perahu nelayan tertambat, menunggu mereka yang berkeinginan snorkelling agak ke tengah lautan. Beberapa perahu baru saja datang dengan serombongan orang, yang mungkin sudah pergi sejak pagi tadi. Melihat matahari pagi barangkali. Karena saat ini, matahari mudah menunjukkan kekuasaannya. Panasnya menyengat.

Tetapi aku tidak takut kepanasan (makasih sunblock mba’e). Karena ada keteduhan dari pohon-pohon waru di sepanjang pantai, memberiku ketenangan, kedamaian. Angin semeliwir, mengusap rambut-rambut kecilku yang tidak mampu diikat oleh jepit rambut ini. Rasanya nikmat, membelai mukaku, badanku, lenganku, kakiku. Semuanya. Begitu indah.

Suara debur ombak yang datang bergantian, bagaikan ada komando yang membuat mereka datang satu satu sesuai gilirannya, kadang terdengar sayup, kadang terdengar garang. Bertalu-talu mengajak aku untuk segera menjejakkan kakiku ke airnya, menyelusuri lebih jauh karang-karang di baliknya. Snorkeling.

Tapi matahari masih terlalu terik. Aku masih lebih memilih untuk tiduran. Beralaskan pasir putih yang dingin. Yang tiap tiap butirannya mengelus setiap senti kulitku. Butir-butir kasarnya seakan dengan lembut melemaskan setiap persendianku. Melepaskan setiap ketegangan yang selama ini ada di seluruh sendiku. Memaksa aku melepas setiap bebanku. Keluar melalui genggaman pasir putih ini.

Aku menutup mata, menikmati semua. Air hijau kebiruan yang bening ini. Langit biru luas ini. Debur ombak ini. Angin semiliwir ini. Keteduhan ini. Pasir putih ini.

Aku menutup mata, memulai tombol “record”. Suatu saat, pasti akan kuputar kembali, untuk membawaku kembali ke ketenangan ini.

Leave a reply:

Your email address will not be published.

Site Footer