Buku itu tidak lagi ada di tanganku. Emak, ditulis oleh Daoed JOESOEF. Kawan-kawanku yang berkesempatan membaca buku ini berkomentar betapa buku ini sangat bagus, ‘kereeeeen dan super kereeen’. Karena itu, buku itu tidak ada lagi di tanganku, aku memutuskan untuk membagi kisah ini dengan seorang dosen di Kendari, bapak dari seorang anak perempuan yang duduk di kelas 5 SD, suami dari seorang guru. Di halaman depan aku tulis bahwa buku itu untuk Aulia, anak perempuan itu.
Buku ini memang layak dibagikan. Bukan saja bagi mereka yang mengagumi seorang perempuan dalam jabatan sebagai ibu, emak, bunda, indung, mama, mami tetapi lebih lagi, bagi mereka yang mau dan rindu untuk terus belajar menjadi lebih baik lewat berbagai hal yang terjadi dalam hidup.
Buku ini jelas bukan buku yang tepat dibawa ke keramaian. Bukan buku yang tepat dibawa di perjalanan, di tengah pesawat atau kereta api. Bukan karena akan mengakibatkan perut mual selama perjalanan, tapi karena hampir di setiap lembarnya membuat air mata ingin sekali keluar. Dan, butuh kekuatan ekstra untuk membendung air mata di tengah orang banyak.
Aku memang lebih menyukai buku ini, ketimbang penggalan cerita tentang Daoed JOESOEF dan Monsieur Courazier. Buat aku, Emak memperlihatkan Daoed JOESOEF sebagai seorang anak, dan Monsier Courazier memperlihatkan Daoed JOESOEF sebagai aparat pemerintah.
Emak bercerita tentang manusia, oleh manusia dan untuk manusia yang semua dilahirkan dari rahim seorang ibu. Ditulis dalam bahasa Indonesia yang begitu santun tapi juga kuat, ditambah beberapa bahasa Belanda dan Inggris, memperkaya buku ini. Bahasa asing tidak ditulis untuk sekedar gaya-gayaan tetapi memberi konteks yang lebih kuat dan gambaran tentang si penulis. Bahasa asing yang dipergunakan, tidak melupakan aturan pakai.
Ilustrasi buatan Daoed JOESOEF sendiri menghiasi beberapa lembar halaman buku. Gambarnya halus. Mengingatkan aku dengan buku cerita anak-anak Tini dan Tono yang berwarna. Punya kelembutan yang khas dalam setiap guratan pensilnya. Mengingatkan aku pada buku pelajaran di sekolah dasar, di awal tahun 80-an. Emak, adalah tokoh yang selalu muncul dalam ilustrasi itu tentunya. Dan perhatikanlah, bagaimana Emak selalu menjadi perempuan paling cantik di dalam ilustrasi-ilustrasi yang ada di buku. Wajahnya selalu memancarkan kecantikan, kegembiraan dan kebijakan. Emak yang paling cantik, digambar sedang menaiki sepeda, sambil memakai pakaian Eropa. Rok panjang dan blus.
Tapi tanpa gambar itu, membaca buku ini membuat aku merasa mengenal Emak. Halaman awal, menjadi salam pembuka dari Emak, perkenalan aku dengan Emak. Begitu membaca, aku seperti diajak berjalan-jalan berpegangan tangan dengan Emak, sambil mendengarkan Emak berbicara. Emak tersenyum, dan penuh kasih, sorot mata yang tajam dan kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya ingin sekali bisa aku pegang terus, tidak aku lepaskan.
Buku ini mengingatkan aku kepada Ompungku. Tidak bersekolah, ia bertekad akan membuat seluruh anak bisa bersekolah, bahkan anak perempuan sekalipun. Ompung mengirimkan ayahku sejak SMP ke Pematang Siantar, dan bahkan kemudian dibiarkan melanjutkan SMA dan masa remaja di Bogor. Salah seorang anak perempuannya, bibiku, bahkan berhasil menyelesaikan pendidikan lanjutan. Visi seorang perempuan cerdas. Sampai usia lanjut, Ompung mampu mengalahkan aku untuk masalah hitung menghitung. Ompung berpulang ketika aku berada ribuan kilometer dari tanah tercinta. Percakapan terakhir kami, terjadi beberapa saat sebelum aku meneruskan sekolah melintasi benua, ditutup dengan permintaan Ompung,”Kau belikanlah dulu aku ini susu, ya pahompu ”
Aku juga teringat Emak yang lain, yang hanya sekejap sempat aku kenal. Hidup untuk suami dan anak, dengan penuh cinta. Tidak lekas marah, dan justru selalu menjadikan setiap kejadian besar sebagai kejadian kecil, dan justru kejadian kecil sebagai kejadian besar. Seorang emak yang juga guru yang tidak pernah berhenti belajar dan mengajar. Bukan hanya di bangku sekolah, tetapi bahkan setelah pensiun, di dalam kehidupan sehari-hari. Emak yang mengajarkan aku menjadi jauh lebih menghargai ibuku sendiri. Emak yang menyerah pada stroke yang menyerang di Juni 2005. Sampai saat ini, aku masih terus merindukannya, merindukan percakapan kami, merindukan perjalanan kami, merindukan semua tentangnya.
Itu yang terjadi dengan membaca Emak. Buku yang mampu membuat seseorang melihat ke sekeliling, kepada emak-emak yang ada di sekitarnya. Ompung bagiku. Mungkin bahkan ia muncul dalam wujud seorang ayah bagi yang lain. “Emak” yang membentuk kita, yang kaya akan kebijaksanaan dan kecerdasan yang tak lekang oleh waktu.
Aku sepakat, Emak adalah ibu yang filosofis, bukan dari bangku sekolah, bukan dari pendidikan formal, tetapi dari kejernihan hati dan ketajaman pikiran untuk melihat sekitar, dan mengambil pelajaran. Tuhan sudah menyediakan semua bagi kita, untuk menjadi bekal melangkah.
Terimakasih Pak Daoed atas Emak.